Komik menjadi bacaan favorit yang digemari segala usia. Dari segi penokohan, alur cerita, maupun dialognya yang komunikatif, komik menjadi bacaan ringan paling disuka di seluruh dunia. Kendati disinyalir sebagai satu penghambat kecerdasan anak, komik tetap jadi bacaan ringan favorit anak-anak, remaja, bahkan orangtua. Sejarah perkomikan telah mencatatkan tokoh klasik Perancis Asterix, komik Swedia Tin-Tin, hingga revolusi Manga (komik Jepang).
Kendati dunia perkomikan dimonopoli komik-komik Barat dan Manga, gejala menggembirakan, setidaknya dari segi kuantitasnya, komik di Indonesia mulai muncul sebagai genre baru sebuah media penyampai gagasan. Dalam genre baru ini — lepas dari masa kejayaan komik Indonesia pada 1970-an — komik Indonesia muncul dalam penjelajahan visual, wacana, spirit, mental yang terlepas dari mainstream komik-komik Barat dan Manga.
Eksplorasi komik Indonesia pun tak berhenti dalam tataran kuantitas. Sebuah upaya peningkatan kualitas direalisasikan dengan mmemunculkan mata kuliah Studi Komik di kampus ISI Yogyakarta dengan bimbingan Drs Herry Wibowo dan Bambang Toko Witjaksono SSn.
Pameran komik dari 35 mahasiswa ISI peserta mata kuliah Studi Komik dan praktisi komik pun digelar, mulai Jum’at (25/5) lalu hingga Kamis (31/5) mendatang di Modern School of Design (MSD) Jalan Tamansiswa 164 Yogya dalam tajuk gelaran Pameran Komik ISI (Komisi).
Dari segi visual, komik-komik yang ditampilkan dalam format “lukisan” oleh seniman ISI jauh lebih bagus dibanding komik-komik yang beredar di pasaran. Namun, dari segi penceritaan, mungkin juga karena keterbatasan ruang, komik-komik itu terkesan hadir sebagai lukisan yang ditempeli dialog, ketimbang penyampai gagasan verbal yang terintegrasi dengan aspek visual.
Bahkan beberapa hadir tanpa aspek verbal, yang ironisnya menjadi ciri dan kekuatan komik. Muatan-muatan “berat” yang disampaikan lewat komik menjadikan beberapa komik justru “melelahkan” untuk disimak. Pertanyaannya, apakah memang komik disini ingin sengaja hadir untuk mendobrak komik-komik pasar dan menjadikan komik sebagai media yang berwacana, tak penting apakah enak dinikmati atau tidak?
Namun, beberapa karya tampil secara komunikatif. Misalnya karya Eko Cahyono yang secara kocak menggambarkan laki-laki patah hati dan akhirnya bertemu wanita cantik yang ternyata hantu Sundelbolong. Atau karya Eros Kumoro yang tampil kekanakan mengkreasi tokoh-tokoh lucu semacam Teletubbies. Juga karya Heri Wibowo yang menggambarkan makhluk raksasa luar angkasa sedang salesma yang bersinnya saja mampu mengakibatkan pesawat terbang oleng.
Mantrijeron, Bernas
No comments:
Post a Comment